Sejarah Pemikiran Kalam (Aliran Salafiyah)

   


SALAFIYAH

 . A. Pengertian dan Sejarah Salafiyah
Kata salafiyah berasal dari kata kerja salafa, yaslufu, salafan yang berarti sudah berlalu, sudah lewat, atau yang terdahulu. Masa salaf adalah masa yang paling murni dalam perkembangan Islam. Pengertian murni di sini adalah pemikiran Islam yang belum dimasuki oleh interprestasi-interprestasi filosofis. Masa salaf adalah masa Nabi, Sahabat dan Tabi’in, yakni tiga angkatan pertama Islam yang di istilahkan dengan Al-Tsalatsah al-Ula.[1]

Istilah salaf dikenal pertama kali untuk memberi nama gerakan hanabilah yang muncul pada abad keempat hijriah dengan mempertalikan dirinya kepada pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang dipandang telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian Ulama salaf. Karena pemikiran keagamaan ulama-ulama salaf menjadi motivasi gerakannya, maka orang-orang hanabilah itu menamakan gerakannya sebagai paham atau aliran salaf dan karena pemikirannya tersebut mereka menentang secara mental dan fisik terhadap alairan Al-Asy’ariyah.
Dalam perkembangannya, di abad ke-7 Hijriah, gerakan salaf memperoleh kekuatan baru dengan munculnya Ibnu Taimiyah (661-728 H) di Syria dan gerakan Wahabi (1115-1201 H) di Saudi Arabia. Di tangan IbnuTaimiyah salafiyah mendapat semangat yang lebih besar, Ibnu Taimiyah tampil menggalang kekuatan dan kesatuan umat  di saat kota Damaskus diserang dan dikepung oleh tentara Mongol pada tahun 700 Hijriyah. Ia bangkitkan semangat penguasa Damaskus dan rakyat untuk berjuang angkat senjata melawan tentara Mongol. Bahkan ia sendiri ikut terjun ke medan perang memanggul senjata sebagai seorang pejuang bersama dengan umat Islam lainnya.
Kemudian pada abad ke-12 Hijriah pemikiran salaf dibangkitkan kembali oleh seorang tokoh pemikir dan pergerakan dari Hijaz yang bernama Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, ia menyerukan ajaran Isalam kembali ke ajaran Islam yang murni yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW, gerakan ini dinamakan dengan gerakan Wahabiyah. Pada masa kini muncul salafiyah yang memperlihatkan kecenderungan untuk kembali ke masa murni Islam, dengan meneladani kehidupan Rasulullah SAW. Dalam meneladani kehidupan Rasulullah saw tersebut bukan hanya pada ajaran yang dibawanya, tetapi juga perilaku sehari-hari yang diperbuat oleh Rasulullah SAW.[2]

    B. Pokok-Pokok Ajaran Salafiyah
Aliran salafiyah mempunyai tiga ciri utama dalam ajarannya,[3] yaitu:
a.       Mendahulukan syara’ dari akal, aliran salafiyah berpegang teguh pada hukum-hukum syara’ sebagaimana yang telah dinashkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Apa pun yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits yang shahih adalah kebenaran. Seorang muslim tidak boleh mengenyampingkan kandungan Al-Qur’an dan Hadits tersebut walaupun bertentangan dengan akal.
b.      Meninggalkan takwil kalami. Takwil kalami adalah penakwilan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang diputar ke maknanya yang bukan harfi, tetapi makna majazinya. Penakwilan sebenarnya bersumber dari penalaran akal, dalam system berpikir filsafat hal-hal yang tidak diterima oleh akal dalam makna harfi harus diberi makna metaforis atau takwil.
c.       Berpegang teguh pada nash Al-Qur’an dan Hadits Nabi , apa yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan yang telah dijelaskan oleh Hadits Nabi haruslah diterima dan tidak boleh ditolak. Akal manusia tidak mempunyai wewenang untuk menakwilkan nash agama. Tugas akal hanya untuk mencari argumentasidalam upaya memberikan informasi yang dibawa oleh nash agama. Akal harus tunduk di bawah nash, karena nash itu adalah firman Allah, akal tidak boleh menghakimi apa yang disebutkan oleh nash, apalagi menolaknya.
Pokok ajaran kaum salaf dalam masalah aqidah memiliki beberapa pemikiran,[4] diantaranya:
a.       Ke-Esaan zat dan sifat Allah
Menurut aliran salafiyah dalam hal “pengEsaan” dan “penyucian” zat Allah, pendapat aliran salaf sama dengan aliran Mu’tazilah yakni meniadakan sifat-sifat Allah. Sedangkan  dalam hal “penyerupaan” dan “penjisiman” adalah menetapkan sebagian sifat-sifat itu. Seperti,  nama-nama, perbuatan-perbuatan dan keadaan yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits (sepert: Al-Hayyu, Al-Hakim, Dzul ‘Arsyil Majid, berada di atas dan di bawah, mempunyai tangan dan lain-lain) aliran salaf memegangi arti lahir, meskipun dengan pengertian bahwa sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat-sifat makhluk.
b.      Ke-Esaan penciptaan
Menurut aliran salafiyah Allah menciptakan langit dan bumi, isi keduanya dan yang terletak di antara keduanya tanpa sekutu dalam menciptakannya dan tidak pula mempersengketakan kekuasaannya, segala sesuatu pekerjaan, dating dan kembali kepada-Nya.
c.       Ke-Esaan beribadah
Menurut aliran salafiyah, seorang manusia mengarahkan ibadahnya hanya kepada Allah SWT, hal ini apabila dua hal berikut ini terpenuhi:
1.      Menyembah hanya kepada Allah SWT, apabila mengikut sertakan makhluk untuk disembah bersama Tuhan atau mempersamakan Tuhan dengan makhluknya berarti syirik.
2.      Menyembah Tuhan dengan aturan-aturan yang telah ditentukan Tuhan dan Rasul Nya serta semua ibadah harus diniatkan dan pernyataan syukur kepada Tuhan.
Selanjutnya dari kedua hal tersebut memunculkan pendapat-pendapat:
-          Haram untuk memberikan nazar kepada kuburan atau penjaga kubura, hal ini tidak ada bedanya nazar kepada berhala.
-          Larangan untuk mengangkat manusia yang hidup atau yang mati sebagai perantara kepada Tuhan.
-          Haram berziarah ke kubur-kubur orang saleh dan nabi-nabi untuk meminta berkah atau mendekatkan diri kepada Allah, tetapi diperbolehkan atau dianjurkan apabila berziarah ke kubur untuk mencari suri tauladan.

   C. Tokoh-Tokoh Aliran Salafiyah
a.       Ibnu Taimiyah
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abdil Halim bin Taimiyah, lahir di Haman, wilayah Irak, 10 Rabiul Awal 661 Hijriah/ 22 Januari 1263 Masehi dan meninggal pada 20 Dzul Qa’dah 728 Hijriah/26 September 1328 Masehi. Dia dibesarkan oleh keluarga yang taat beragama dan berguru kepada Syaikh Ali Abd Al-Qawi, ulama terkenal pada zamannya. Ibnu Taimiyah hidup di era kemunduran Islam, ketika Baghdad dihancurkan oleh tentara Hulako (1258 M).[5]
Ibnu Taimiyah merupakan seorang Ulama yang sangat berani, tidak mengenal takut dalam apa yang dipandanya benar. Pada tahun 700 Hijriah ketika Damaskus diserang oleh tentara Mongol, Ibnu Taimiyah mendorong semangat penguasa Damaskus dan seluruh rakyat untuk berjuang mengangkat senjata, bahkan ia sendiri tidak sungkan-sungkan untuk memanggul senjata, maju ke medan laga.
Pada usia tujuh belas tahun, kegiatan ilmiahnya sudah mulai tampak, dan ketika Ibnu Taimiyah berumur 21 tahun ia mulai mengarang, mengajar, dan berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya, bahkan menurut suatu sumber Ibnu Taimiyah memiliki karangan lebih dari 300 kitab, meliputi masalah tafsir, fiqih, retorika (jadal) dan fatwa-fatwa yang merupakan kumpulan jawaban atas berbagai pertanyaan masyarakat. Pemerintahan pada masanya, yaitu golongan Bani Buwaih menyokong dan menanamkan madzhab Syafi’i dalam fiqih dan aliran Asy’ariyah dalam lapangan kalam, namun keadaan itu tidak menghalang-halanginya untuk mendalami pendapat-pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam lapangan Fiqh maupun aqidah. Dia tidak pernah mengenal takut untuk menegakkan kebenaran, sehingga mendapatkan gelar “Muhyis Sunnah” (pembangun/penghidup as-Sunnah).[6]
b.      Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab
Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang Ulama yang beraliran Hanabilah dan ia dilahirkan di Uyainah, sebuah desa di Nejed, Saudi Arabia. Ia berguru kepada Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad Al-Hayyat As-Sindi dari Madinah. Pokok-pokok ajaran yang dibawa oleh oleh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat dipengaruhi oleh Ibnu Taimiyah.[7]
Ada 2 ajaran pokok yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, yakni: pertama, adalah kembali kepada ajaran Islam yang asli dan murni, ajaran Islam yang tidak terkontaminasi oleh pemikiran filsafat Yunani. Dalam pandangannya nash Al-Qur’an tidak boleh diberi takwil, sebab takwil dalam pandangannya apa yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an pada hakikatnya sudah final, tidak perlu dipersoalkan lagi. Dengan demikian jika ada ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai jisim, maka haruslah diterima tanpa menanyakan bagaimana hakikat sifat tersebut.[8]
Kedua adalah prinsip ajaran Tauhid atau ke-Esaan Allah. Menurut Muhammad bin Abdul Wahhab, kalimat la ilaha illa Allah belum memadai jika hanya pada ucapan semata. Makna kalimat itu harus dimanifestasikan dengan penegasan dalam perbuatan, yakni la ma’buda illa Allah (tidak ada yang disembah kecuali Allah).



[1] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: dari Khawarij ke Buya Hamka hingga Hasan Hanafi, (Jakarta:   Prenada Media Group, 2014), hlm. 181-182.
[2] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: dari Khawarij ke Buya Hamka hingga Hasan Hanafi, (Jakarta:   Prenada Media Group, 2014), hlm. 184.
[3] Ibid, hlm. 184-186.
[4] Ghofir Romas, Ilmu Tauhid, (Semarang: Badan Penerbit Fakultas Da’wah IAIN Walisongo Semarang, 1986), hlm. 124-128.
[5] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 279.
[6] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 279-280.
[7] Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: dari Khawarij ke Buya Hamka hingga Hasan Hanafi, (Jakarta:   Prenada Media Group, 2014), hlm. 192.
[8] Ibid, hlm. 193.

Komentar