hubungan Islam dengan Ilmu medis

  
Hubungan Islam dengan Ilmu Medis

Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, kedokteran juga mendapatkan rangsangan dari Al-Qur’an serta dari pandangan hidup yang terkandung di dalamya. Dan nampaknya ada mata rantai penghubung yang erat sekali antara ilmu kedokteran dengan Islam. Tubuh manusia dipandang menjadi tempat tinggalnya ruh, oleh karenanya sangat berkaitan dengan jiwa ataupun ruh itu, sehingga mencerminkan dua aspek. Pertama, sebagai simbol tentang keberadaannya sesuai ungkapan terkenal, yaitu: manusia adalah pencerminan dari keberadaannya, yang berarti bahwa Jiwa dan roh saling berkaitan erat dan bergantung pada tubuh manusia, karena jiwa dan ruh itu tidak akan terwujud di dunia ini tanpa tubuh manusia. Kedua, manusia harus memelihara wujud lahiriyahnya dalam kondisi baik dan sehat.[1]

Sumbangan Umum Ilmu Medis Islam
Implikasi dari pandangan Islam tentang hubungan yang erat antara jiwa dan badan adalah kuatnya perhatian sarjana Muslim terhadap ilmu medis. Ilmu medis yang didefinisikan Ibnu Sina dalam karyanya yang termasyhur, The Canon of Medicine, sebagai cabang ilmu yang mempelajari keadaan-keadaan sehat dan sakit tubuh manusia dengan tujuan mendapatkan cara yang sesuai untuk menjaga atau mempertahankan kesehatan. Para sarjana Muslim juga memiliki sumbangan yang sangat besar untuk dunia medis bahkan menurut Ajram, para sarjana Muslim adalah printis dari berbagai disiplin medis, meliputi medis umum dan internal, ortopedi, psikiatri, patologi, gastroentologi, kardiologi, parasitologi, dermatologi, opthalhatan publik, urologi, ilmu bedah, anesthesia (ilmu obat bius), ilmu kebidanan, farmakologi, toksikologi, dietetics (ilmu gizi) dan etika medis. Mereka juga adalah orang yang pertama mengusahakan pembagian secara seksama praktisi medis ke dalam berbagai spesialis tersebut, sebagai contoh, para dokter Muslim adalah yang pertama kalinya membedakan farmasi sebagai sebuah sains tersendiri yang terlepas dari ilmu kedokteran. Mereka adalah penemu pertama ilmu farmasi di mana obat-obatan disalurkan melalui preskripsi (ketentuan, resep) dan lisensi. Farmasi memperoleh status sebagai ilmu baru pada abad ke-9. Kontribusi ilmu medis lainnya adalah penemuan-penemuan penting tentang sumber-sumber penyakit dan penanganan penyembuhannya. Para sarjana medis Islam aktif melakukan prognosis, diagnosis dan analisis tentang gejala-gejala suatu penyakit berikut cara/metode penyembuhannya. Banyak juga istilah medis Islam yang masih terpakai sampai sekarang (setelah penulisannya di Barat-kan). Misalnya Nasr menyebutkan istilah retina dan katarak, kedua istilah tersebut terdapat dalam ophthalmology (ilmu medis tentang mata). Ajram juga melaporkan bahwa istilah-istilah seperti alembik (labu distilasi kimia medis, al-anbiq), aludel (al-utsal), alkali, arsenik dan aldehid berasal dari bahasa Arab yang ditemukan oleh ahli-ahli medis Islam Klasik.[2]

Paradigma Ilmu Medis Islam
Pernyataan bahwa kesehatan menjadi perhatian utama dalam paradigma medis Islam bukan ungkapan klise belaka. Karena, pada masa sekarang kenyataan dunia medis disibukkan oleh hal-hal yang teknis-kuantitatif dan melupakan tujuan utama medis, yaitu memelihara kesehatan. Praktek kedokteran modern yang dominan pada masa sekarang masih mengacu pada pandangan mekanistik Cartesian yang menganggap tubuh manusia sebagai sebuah mesin yang bisa dianalisis menurut bagian-bagiannya sehingga tubuh yang sakit diperlakukan seperti mesin yang rusak. Tentu saja dengan paradigma mekanistik seperti itu praktik kedokteran hanya fokus pada metode dan pendekatan yang kuantitatif serba terukur dan mengabaikan aspek-aspek kualitatif  yang tak terukur. Padahal, kesehatan tubuh berdasarkan pengalaman kita masing-masing dan banyak berhubungan dengan hal-hal kualitatif seperti ketenangan jiwa, gaya hidup, sikap hidup, kebiasaan hidup, dan juga perasaan sakit, sedih, gembira, stres, cemas, takut dan sebagainya.[3]
Ibnu Sina mula-mula menyatakan bahwa ada orang yang sakit yang sembuh karena kemauan kuat untuk sembuh, dan sebaliknya ada pula orang yang sehat yang berpikir dirinya sakit sehingga benar-benar jatuh sakit, dari sini Ibnu Sina menyimpulkan bahwa pikiran berkuasa atas materi. Bahkan Ibnu Sina menekankan peranan pikiran dalam kasus kanker dan penyakit-penyakit lain. Ibnu Sina menekankan prinsipnya yang menunjukkan eratnya hubungan pikiran dam jiwa dengan kesehatan tubuh, bahwa cara berpikir berpengaruh  terhadap kondisi badan dan juga sebaliknya, bahwa kesehatan tubuh berpengaruh terhadap kondisi jiwa. Dengan prinsip dasar itulah Ibnu Sina menganjurkan para dokter untuk memiliki simpati dan kesabaran dalam menghadapi pasien. Dokter, kata Ibnu Sina, haruslah memberikan sugesti dan harapan yang optimistik kepada pasien bahwa dia akan segera sembuh. Ibnu Sina juga menganjurkan para dokter dan rumah-rumah sakit untuk menciptakan lingkungan yang ramah, nyaman, teduh dan higienis agar membantu proses penyembuhan pasien.[4]




[1] Afzalur Rahman, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hlm. 353-354.
[2] Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2011), hlm. 331-333.
[3] Ibid, hlm. 336.
[4] Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2011), hlm. 338-340.

Komentar